Kamis, 29 November 2012

MALU PADA INJIL?


Baca: Roma 1:8-17


Sebab aku tidak malu terhadap Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. (Roma 1:16)

Bacaan Alkitab Setahun:
1 Korintus 5-8

Perasaan berbeda dengan orang lain adakalanya membuat kita malu— termasuk dalam soal iman. Apakah Anda pernah mengalaminya? Saat masih kanak-kanak, setiap kali akan ke gereja hari Minggu, saya malu jika saya ditanya akan pergi ke mana oleh orang lain. Kami minoritas di tempat kami tinggal saat itu.

Jemaat abad pertama di Roma jelas tahu bagaimana rasanya menjadi minoritas. Mereka hanyalah komunitas baru yang kecil di tengah masyarakat Yunani dan Romawi yang sangat maju kebudayaannya. Dibenarkan karena iman terhadap Injil tentu terdengar sebagai sesuatu yang tidak masuk akal bagi kalangan terpelajar di Roma. Bisa saja iman jemaat yang tadinya menjadi berita publik jadi goyah, sehingga Paulus sangat ingin mengunjungi mereka untuk menguatkan iman mereka (ayat 11). Paulus menegaskan sikapnya, “... aku tidak malu terhadap Injil.” Mengapa? Sebab, di dalamnya terkandung kebenaran tentang kekuatan Allah yang menyelamatkan. Seperti utang yang harus dibayar, Paulus ingin agar semua orang, baik terpelajar atau tidak, memahami berita yang menyelamatkan ini (ayat 14). Dalam pasal-pasal selanjutnya, kita melihat bagaimana Paulus menjelaskan berita Injil dengan sangat detail. Kebenaran sejati tidak ditentukan oleh berapa orang yang memercayainya, tetapi dari siapa sumber kebenaran tersebut.

Adakah situasi-situasi yang membuat Anda malu menyatakan diri sebagai orang kristiani? Jika ya, periksalah kembali keyakinan Anda terhadap kebenaran Injil. Selidikilah kebenaran itu jika Anda memang belum yakin. Hanya jika keyakinan kita kokoh barulah kita bisa memberitakan Injil tanpa merasa malu.—YBP 
KEBENARAN SEJATI TIDAK DIBERITAKAN DENGAN RASA MALU.
KITA TERUS MAJU KARENA INGIN SEMUA ORANG TAHU.

Rabu, 28 November 2012

TUHAN ATAS SEMUA ORANG


Baca: Kisah Pr. Rasul 10:24-48


Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya. (Kisah Pr. Rasul 10:34-35)

Bacaan Alkitab Setahun:
1 Korintus 1-4

Saya tidak bisa melupakan hari itu. Pemimpin ibadah kami naik ke mimbar dengan mengenakan kerudung. Seolah membaca pikiran saya, ia bertanya apakah jemaat merasa terganggu dengan penampilannya. Ia mengingatkan kami bahwa bagi jemaat abad pertama, mengenakan kerudung adalah hal yang normal, tetapi karena kekristenan di Indonesia banyak dibawa misionaris barat, tradisinya jadi berbeda. Jemaat mula-mula pun awalnya sulit menerima orang yang berbeda dari mereka.

Petrus, pemimpin jemaat mula-mula adalah contoh yang nyata. Tuhan harus memberikan penglihatan khusus sebanyak tiga kali untuk memantapkan Petrus melangkah ke rumah Kornelius (ayat 16). Bangsa Yahudi memang dipanggil Tuhan untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa yang jahat dan menyembah berhala (ayat 28). Namun, itu tidak berarti mereka juga harus menjauhi orang-orang dari bangsa mana pun yang sungguh-sungguh mencari Tuhan (ayat 35). Justru, kepada merekalah umat Tuhan harus bersaksi, memberitakan tentang Yesus Kristus yang ditentukan Allah untuk menghakimi dunia sekaligus memberikan pengampunan dosa (ayat 42-43). Petrus menyadari kekeliruannya yang telah memandang rendah kaum yang tidak mengikuti tradisi Yahudi (ayat 34).

Periksalah hati kita saat melihat orang-orang yang beribadah kepada Tuhan dengan cara yang berbeda dengan kita. Apakah kita cenderung menjauh dan menjaga jarak? Apakah kita cenderung berpikir negatif dan menutup diri untuk berbicara tentang hal-hal rohani kepada mereka? Kristus adalah Tuhan bagi semua orang. Dia memanggil kita untuk menyatakan kasih-Nya kepada semua orang, termasuk mereka yang berbeda dengan kita.—ITA 
MENJAGA JARAK DAN MENUTUP DIRI ADALAH RESEP UNTUK MENGHAMBAT PEMBERITAAN INJIL.

DIBERKATI UNTUK BERBAGI


Baca: 1 Raja-raja 21:1-16


Segera sesudah Ahab mendengar, bahwa Nabot sudah mati, ia bangun dan pergi ke kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu, untuk mengambil kebun itu menjadi miliknya. (1 Raja-raja 21:16)

Bacaan Alkitab Setahun:
Kisah Para Rasul 18-19

Saya pernah melihat sekelompok orang yang bermain kartu sambil bertaruh. Di arena judi semacam itu, fokus para pemain cuma satu, yaitu bagaimana menambah jumlah uangnya. Ada tawa puas ketika bisa mengeruk uang taruhan. Mereka tak peduli jika tawa mereka berarti kemalangan bagi orang lain yang kalah. Kekalahan lawan justru akan memperlebar senyum mereka. Judi memang tidak mengenal belas kasihan.

Raja Ahab menginginkan milik pusaka keluarga Nabot, yaitu kebun anggurnya, karena dekat dengan rumahnya. Padahal, ia sebenarnya punya kebun-kebun anggur yang lebih baik (ayat 2). Ketika keinginannya tak terpenuhi, ia sangat gusar. Lalu Izebel, istrinya dengan licik merancang perampasan kebun tersebut. Kekayaannya yang banyak rupanya tak membuat mereka puas. Mereka malah memanfaatkan kekuasaan yang mereka punya untuk mengambil milik orang lain. Bukannya berbagi untuk melayani rakyat, mereka justru sibuk menambah milik mereka lagi dan lagi.

Mengapa orang seringkali sulit memperhatikan dan melayani orang lain? Karena hati dan pikirannya penuh dengan dirinya sendiri. Selama kita demikian, maka pelayanan akan selalu tidak pernah bisa keluar dari diri kita. Apakah rasa tak puas sedang menjalari hati Anda? Berusaha memuaskannya takkan ada habisnya. Kebahagiaan Anda dan orang lain justru akan digerogotinya. Pandanglah pada Tuhan dan berkat-berkat yang telah diberikan-Nya, lalu lihatlah sesama yang Dia minta kita kasihi. Dia memberkati Anda untuk berbagi.—PBS
FOKUS PADA DIRI SENDIRI MEMBUAT KITA SULIT MELAYANI.

Selasa, 27 November 2012

JANGAN NGEGOSIP


Baca: Matius 18:15-20


Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. (Matius 18:15)

Bacaan Alkitab Setahun:
2 Tesalonika

Ada nasihat demikian: “Apabila Anda membicarakan keburukan seseorang, jangan lupa memulai dan menutupnya dengan doa. Maka gosip itu akan berubah namanya menjadi sharing. Apakah Anda setuju dengan nasihat lucu tersebut? Jangan-jangan tanpa disadari, kita pun sering menuruti nasihat itu.

Apabila kita melihat saudara kita yang berbuat dosa, Tuhan Yesus meminta kita untuk pertama-tama menegurnya di bawah empat mata. Ini berarti kita diminta berbicara langsung dengan pihak yang kita anggap berbuat dosa. Dengan melakukannya kita bisa segera mendapat penjelasan maupun pertobatan. Ini dimaksudkan menjadi sebuah tindakan kasih, karena tujuannya adalah kembalinya saudara kita. Sementara, gosip memilih untuk membicarakan keburukannya dengan orang lain dengan maksud agar orang menjadi bersikap negatif terhadap objek yang dibicarakan. Orang yang menjadi bahan pembicaraan tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan tindakannya, atau mendapat kesempatan untuk segera bertobat. Ia secara tidak adil telah dihakimi, entah benar atau tidak perbuatannya.

Seringkali pelayanan terhambat karena hal yang sederhana ini. Kita gagal mengasihi sesama saudara dalam tubuh Kristus. Adakah saudara kita yang telah berbuat dosa? Doakanlah dan temuilah ia secara pribadi untuk melihat ia berbalik dari dosanya. Pikirkan dengan saksama, siapa yang patut mendengar kesalahan saudara kita. Kalau kita telah menceritakan kepada orang yang tidak berkepentingan, kita sedang melakukan gosip. Apabila kita diajak bergosip, tegurlah orang yang mengajak kita, dan sarankan untuk mengikuti prosedur yang Tuhan Yesus anjurkan.—PBS 
KASIH YANG SEJATI SELALU BERUSAHA AGAR SAUDARA YANG TERHILANG SEGERA KEMBALI.

Minggu, 25 November 2012

PURA-PURA TIDAK TAHU


Baca: Ulangan 22:1-4


“Apabila engkau melihat, bahwa lembu atau domba saudaramu tersesat, janganlah engkau pura-pura tidak tahu; haruslah engkau benar-benar mengembalikannya kepada saudaramu itu”. (Ulangan 22:1)

Bacaan Alkitab Setahun:
1 Tesalonika

Pernah beredar sebuah video pendek di media massa tentang seorang anak yang tertabrak di jalan yang cukup ramai. Anehnya, beberapa orang yang melihat sang anak yang tergeletak, hanya memandangnya dan berlalu tanpa peduli. Sampai kemudian, seorang wanita menghampiri sang anak lalu bergegas menolongnya. Wanita ini akhirnya memperoleh penghargaan dari pemerintah setempat. Bersamaan dengan itu, bermunculanlah kecaman terhadap penduduk setempat yang tidak peduli terhadap korban.

Mengambil inisiatif untuk menolong orang lain bukan pilihan yang otomatis akan diambil kebanyakan orang. Tetapi umat Tuhan diminta hidup berbeda dari orang-orang yang tidak mengenal-Nya, seperti tecermin dari peraturan tentang tolong-menolong yang kita baca. Di sana Allah memerintahkan agar umat-Nya berusaha mengembalikan atau merawat binatang peliharaan milik saudaranya yang tersesat atau mengalami celaka. Ini berlaku juga untuk barang apapun yang mereka temukan. Mereka tidak boleh “cuek” atau pura-pura tidak tahu. Tindakan yang demikian akan membuat orang yang kehilangan terhindar dari kerugian dan bersukacita karenanya. Ini adalah perintah yang indah, melatih kepedulian dan inisiatif untuk berbuat baik.

Bagaimanakah kita berespons terhadap kemalangan atau kekurangberuntungan orang lain? Bukan kita yang merancang kecelakaan dan kemalangan mereka, tetapi kita ada dalam posisi yang dapat menolong mereka. Apakah itu sebuah kebetulan? Ataukah kesempatan yang Tuhan berikan untuk menyatakan kasih-Nya secara personal? Apakah kita melakukan sesuatu? Ataukah kita berlalu dan pura-pura tidak tahu?—PBS 
KASIH KEPADA SESAMA MENDORONG KITA MELAKUKAN YANG TERBAIK BAGI-NYA.

SYARAT ATAU BUKTI?


Baca : 1 Yohanes 3:11-24


Kita tahu bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. (1 Yohanes 3:14)

Bacaan Alkitab Setahun:
Kisah Para Rasul 17

Saya baru menyadari bahwa makin lama kepekaan sosial kami sekeluarga makin terkikis. Kami sekeluarga tanpa terganggu masih bisa tetap menyantap makanan lezat sambil menyaksikan tayangan seorang pengemis yang mengais sisa makanan di tong sampah. Kami makin jarang terusik ketika mendengar berita kelaparan di sebuah tempat, atau mendengar banyaknya jumlah korban banjir di tempat lain. Saya takut nurani kami menjadi mati.

Rasul Yohanes mengingatkan bahwa kasih kepada sesama itu sangat terkait dengan keselamatan kita (ayat 14). Perhatikanlah ayat 14 dari bacaan kita. Ayat ini sering dibaca dengan penekanan yang keliru. Prinsip yang muncul menjadi: jika kita mengasihi saudara kita, kita akan diselamatkan. Namun, cara membaca ini tidaklah sesuai dengan maksud rasul Yohanes dalam keseluruhan suratnya, maupun dengan kebenaran lain di seluruh Alkitab. Pengertian yang benar adalah: kasih kepada saudara merupakan bukti bahwa kita sudah diselamatkan. Kasih kepada sesama membuat kita tahu kita sudah dilepaskan dari maut.

Seseorang yang tidak mempunyai kasih, patut dipertanyakan pembaruan hidupnya. Kasih yang dimaksud bukanlah hanya dikhotbahkan atau dinyanyikan, tetapi diwujudnyatakan dalam tindakan praktis. Ukuran sederhananya adalah kerelaan untuk menolong sesama yang berkekurangan (ayat 17). Menutup pintu hati terhadap sesama bisa saja tidak pernah kita sadari. Kapankah terakhir kali kita melihat orang yang membutuhkan pertolongan? Adakah nurani kita terketuk? Adakah hati kita dipenuhi belas kasihan? Mari pancarkan kasih Kristus yang telah memperbarui hidup kita melalui kesediaan kita menolong sesama.—PBS 
RELA MEMBERI DAN BERBAGI ADALAH BUKTI BAHWA HIDUP KITA SUDAH DIPERBARUI.

Jumat, 23 November 2012

KASIHILAH SESAMAMU


Baca: Matius 22:34-40


Perintah yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (Matius 22:39)

Bacaan Alkitab Setahun:
Galatia 4-6

Seorang suami heran karena istrinya membeli jenis beras yang kualitasnya jauh di bawah beras yang biasa mereka beli. Sang istri menjelaskan: “Oh, ini untuk disumbangkan ke rumah yatim piatu. Kalau beras mahal kanuntuk kita konsumsi sendiri.” Mengupayakan yang terbaik untuk diri sendiri dan tidak harus memakai ukuran yang sama ketika itu untuk kepentingan orang lain. Suatu keputusan yang sering kita anggap wajar, bukan?

Ketika seorang ahli Taurat mencobai Tuhan Yesus dengan menanyakan hukum yang terpenting, saya duga ia mengharapkan Yesus hanya akan menyebut satu hukum, yaitu mengasihi Tuhan. Sebab, mereka dikenal suka menggunakan hal-hal rohani untuk mengabaikan tanggung jawab mereka kepada sesama (lihat pasal 23:4, 14, 16, 23). Namun, jawaban Yesus mengejutkan. Dia menandaskan bahwa mengasihi sesama bobotnya sama dengan mengasihi Tuhan (ayat 39). Yang Tuhan Yesus tekankan adalah “sesama manusia”, bukan sama ras, agama, atau kedudukan. Artinya, sepanjang seseorang adalah manusia, ia harus kita kasihi. Bahkan ukuran yang dipakai adalah “seperti mengasihi diri sendiri”. Ini ukuran yang sangat tajam karena tentunya hampir semua orang senantiasa mengusahakan hal-hal yang terbaik bagi dirinya.

Siapa yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang dilihatnya (1 Yohanes 4:20). Bagaimanakah kasih kita pada sesama di sekitar kita? Hari ini, perhatikanlah orang-orang yang sering Anda jumpai. Pikirkanlah hal-hal baik apa yang Anda inginkan terjadi dalam hidup mereka, dan bagaimana Anda bisa menjadi alat Tuhan untuk mewujudkannya. —PBS 
MELAYANI TUHAN DENGAN MENGASIHI SESAMA ADALAH PERINTAH YANG TAK BISA DIBANTAH.

Kamis, 22 November 2012

SEBELUM BEREAKSI


Baca: Filipi 4:2-9


... semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. (Filipi 4:8)

Bacaan Alkitab Setahun:
Galatia 1-3

Surat dari seorang rekan membuat apa yang sudah saya rencanakan jadi berantakan. Berbagai pemikiran berbaris di kepala saya. Kemarahan atas isi suratnya. Kekhawatiran akan persepsi orang yang dibentuk olehnya. Penilaian jelek saya tentang karakter rekan tersebut. Juga skenario balasan untuk mematahkan argumennya. Sukar memikirkan hal-hal yang baik tentang orang itu maupun cara-cara yang bersahabat untuk menyelesaikan masalah. Pemikiran negatif saya memicu reaksi yang negatif pula.

Paulus tampaknya menyadari kecenderungan reaksi semacam ini. Mungkin itulah sebabnya, di tengah perselisihan antara Euodia dan Sintikhe di jemaat Filipi (ayat 2), ia memberi nasihat untuk mengarahkan fokus pemikiran pada hal-hal yang positif (ayat 8). Bukan berarti mengabaikan masalah, melainkan tidak terus berputar-putar dalam masalah. Memikirkan apa yang Tuhan ingin dilakukan anak-anak-Nya adalah langkah yang seharusnya diambil. Menjunjung kebenaran dan berani mengakui kesalahan. Mengambil putusan yang objektif. Menegur kesalahan dengan kasih, memberi dorongan semangat. Berinisiatif untuk memulihkan hubungan. Fokusnya bukan membenarkan diri sendiri, tetapi melakukan apa yang berkenan di hati Tuhan. Ini adalah kesaksian yang indah bagi orang-orang yang melihatnya.

Apa yang kita biarkan menguasai pikiran kita akan sangat memengaruhi tindakan-tindakan kita. Ketika kemarahan, keluhan, kesedihan, mulai menguasai diri, tahan diri untuk langsung bereaksi. Datanglah pada Tuhan memohon damai sejahtera-Nya melingkupi. Minta pertolongan Tuhan untuk mengarahkan pikiran kita pada hal-hal yang berkenan di hati-Nya.—ELS 
TUHAN, KUASAI PIKIRANKU DENGAN PIKIRAN-MU,
AGAR AKU DAPAT MELAKUKAN HAL-HAL YANG MENYUKAKAN HATI-MU.